Kamis, 21 Mei 2009
fantasy of j clubs (bagian delapan)
“Kaze... hati-hati ya...”, ucap shiro dengan nada lembut sambil mengulurkan tangannya ke arah kaze.
“Iya... kaze juga g mau jatuh lagi”, jawab kaze sambil membalas uluran tangan shiro.
“Kamu capek?”, tanya shiro lagi. Kaze hanya menggelengkan kepalanya.
“...”
“Selama sama shiro rasa capeknya ilang kok”, ucap kaze dengan senyum manja.
“...”
“Sungguh? Ehe... senangnya kalau kaze bilang gitu...”, shiro merangkul kaze dengan lembut dan mengecup kening gadis itu.
“...”
“Ehehe... lagi...”, pinta kaze manja.
“...”
“Ya udah... kali ini di...”
“Jangan ngomong mulu napa! Jalan!”, potong kup sambil memukuil kepala shiro dengan cukup keras.
“Kup! Jangan mukul kepala orang napa!”, pinta kaze dengan nada agak di tinggikan.
“Lagian dari tadi kagak ada kemajuan ma sekali. Udah 3 jam di tungguin g jalan-jalan”, kup melipat ke dua tanganya dengan pandangan sinis.
“Kalo gitu kan tinggal bilang”, jawab shiro sambil mengelus kepalanya yang baru saja di pukul dengan sebuah kayu itu.
“Eh... sejaman lebih gw ngemeng kagak di tanggepin...”, jawab kup yang sejak tadi ucapannya tidak di tanggapi dan akhirnya memutuskan untuk menunggu.
“Ehehe... maaf kup...”, ucap kaze.
“Udah ah... jalan yuk...”, shiro menggandeng tangan kaze dan berlaru mendahului kup yang belum selesai bicara.
“Kalau dia bukan temen gw udah kubunuh ni anak dari dulu”, ucap kup sambil mengepal tangannya dengan amat sangat kuat.
Saat itu mereka bertiga ada di sebuah desa yang terkenal dengan nama desa Reinfort. Berada di arah selatan dari lokasi kafe dan merupakan desa yang cukup kecil dan agak trisolasi dari dunia luar.
“Pesan kamar berapa orang?”, tanya resepsionis pada kup.
“2 kamar aja...”, jawab kup.
“Baik... ini kuncinya... kamar pertama dan kedua dari ujung kiri”, ucap resepsionis itu sambil memberikan kunci pada kup.
Kup berjalan meninggalkan meja resepsionis dan berjalan ke arah kaze dan shiro yang menuggunya di luar sambil memperhatikan pernak-pernik yang d jual di toko yang tidak jauh dari hotel yang akan mereka pakai untuk menginap.
“Oi... kaz... ni kunci kamarmu”, ucap kup sambil melemparkan kunci kamar pada kaze.
“kaze... kita sekamar ya?”, ucap shiro manja.
“Lo sekamar ma gw!”, kup memukul kepala shiro dengan cukup kuat dengan sebuah kayu.
“Aduh... kup g bisa di ajak kerja sama ni”, jawab shiro.
“shiro... kaze duluan ke kamar...”, ucap kaze yang langsung pergi meninggalakan shiro dan kup berdua.
“Maksudmu ga bisa di ajak kerjasama apaaan”, tanya kup pura-pura tidak tahu apa yang sedang ada di pikiran shiro dan membuat shiro tersudut dengan tatapan tajam dari kup.
‘Pip... pip...’
“Ada yang manggil tuh”, ucap shiro mengalihkan perhatian.
“Tau...”, kup mengambil liontin yang di taruhnya di saku bajunya dan menekan tombol yang menyala. No 3...
“Kup... ah... di angkat juga”, terdengar suara dari sebrang dan wajah reika yang muncul di layar.
“Ada apa rei?”, tanya kup dengan nada datar.
“Gini kup... soal misa...”, rei agak ragu meneruskan ucapannya.
“Misa kenapa?”, tanya shiro penasaran.
“Misa... misa jadi...”
“Misa itu queen of death!”, potong kura.
“Eh!? Kurap!”, ucap shiro dengan senyum licik.
“Queen of death itu apa?”, tanya kup.
“Itu legenda tentang ratu penguasa dunia orang mati... tapi anehnya di dunia ini tidak ada yang bisa mati, mangkanya aku minta bantuan”, ucap kura.
“Bantuan?”
“iya... kalian ada di desa reinfort kan? Tolong kunjungi seorang kepala desa yang tinggal tidak jauh dari desa itu”, pinta reika.
“Um... ya udah... besok kami ke sana...”, ucap kup.
“Tolong ya... kalau g kise bakalan ngurung diri mulu”, ucap kura yang langsung memutuskan sambungan.
“Apaan noh? Minta tolongnya gitu banget”, protes shiro.
“Ah! Biarin lah!”
Malamnya harinya suasana tampak sepi di desa itu. Tidak ada seorangpunyang terjaga... em... pengecualian deh...
“hehe... udah tidur dia...”, ucap shiro begitu memastikan kalau kup yang sekamar dengannya sudah tidur dengan pulas. Ia berjalan sejengkal-demi-sejengkal tanpa menimbulkan suara sekecil apapun.
‘Brakkk’, belum ada ada setengahj meter ia berjalan terdengar suara keras dari kamar kaze yang membuat kup terbangaun secara reflek.
“Barusan...”, kup memandang ke arah shiro dengan pandangan menerawang.
“Waaa... bukan gw! Liat! Gw baru mau jalan”, ucap shiro berdalih.
“Bukan ntu. Rasanya tadi gw dengar suara dari kamar kaze”, ucap kup.
“Suara?”, tanya shiro yang tidak mengerti. Kup memandang ke arah shiro untuk beberapa saat dengan pandangan bingung.
“Mungkin Cuma perasaan... tapi...”, pandangan bingung yang di tujukan pada shiro kini berubah menjadi pandangan tajam. Dan tanpa banyak bicara kup langsung merantai kaki shiro dengan lantai dan kembali tidur.
“Woi! Kup! Kok di rante!”, teriak shiro yang berkumandang sepanjang malam menggantikan jangkrik yang sedang hening tak bersuara.
Saat itu tidak ada yang menyadari kalau suara yang di dengar kup barusan bukanlah suara angin atau hanya perasaan. Tapi memang suara yang berasal dari kamar kaze.
“Kaze... bangun... udah pagi...”, ucap shiro sambil mengetuk pintu kamar kaze.
“suara mu aneh amat...”, ucap kup menahan tawa mendengar suara shiro yang hampir habis.
“Semaleman habis tukeran ma jangkrik...”, ucap shiro malas menganggapi sindiran shiro.
Selama beberapa menit shiro mengetuk pintu kaze tapi tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Hanya suara angin yang berhembus. Shiro dan kup yang mulai penasaran saling berpandangan penuh tanya.
“Kaze... di buka ya...”, ucap shiro meminta ihin yang langsung mengeluarkan kunci cadangan yang memang di berikan oleh kaze kemarin.
Pintu terbuka secara perlaha. Semilir angin yang mesuk melalui jendela yang berada dalam 1 garis lurus dengan pintu menerpa ke duanya yang terdiam memandang sebuah kamar yang porak-poranda.
“Habis... ada apa!?”, ucap kup dengan nada bingung.
“Kaze?”, shiro memanggil nama kaze dengan nada lembut dan melihat ke sekeliling kamar dan berfikir kalau kaze sedang mengerjai ke duanya.
“Shiro... sini deh...”, kup melambaikan tangan seolah meminta shiro untuk mendekatinya.
“Apa kup?”
“Ini tulisan tangan kaze bukan?”, tanya kup sambil menunjukkan sebuah pesan yang terdapat di meja.
“Bukan...”
“Coba baca”, kup menyodorkan kertas itu pada shiro dan membaca tulisan itu dengan seksama.
“Kaze ada di tanganku... kalau kalian ingin dia kembali temui aku di rumah kepala desa”, shiro membaca surat itu dengan nada datar dan langsung merobek kertas itu menjadi 2 bagian.
“Jadi yang semalem bukan perasaanku...”, ucap kup.
“Prasaan atau tidak... akan ku rebut kaze kembali...”, ucap shiro dengan pandangan berapi-api.
“Yah... ku bantu deh...”
“G perlu...”
“Hah?”
“Ini ku urusanku... akan ku lakukan sendiri...”, shiro melihta ke arah kup dengan memberikan beberapa isyarat. Kup mengerti dengan isyarat itu dan hanya mengangguk pelan.
“Baiklah... sampai jumpa...”, ucap kup sambil melambaikan tangannya ke arah shiro dan meninggalkannya ke arah yang berlawanan. Shiro tidak mengucapkan hal apapun dan pergi begitu saja.
- some where -
“Hei... apa sudah ada perkembangan?”, tanya misa sambil meletakkan boneka yang sejak tadi di utak-atik olahnya.
“Um... baru dapet setengah lembar mis...”, jawab selain.
“Jyah... mendungan vera deh... dia satu lembar 5 jam... lah elu... seharian barus segitu”, ejek misa.
“Kenapa manggil nama asli...?”
“Mumpung g ada vera...”, ucap misa sambil tersenyum lembut.
“Jyah... ternyata lu takut juga...”
“Habisnya kalau ketauan bisa dibunuh vera...”
“Kamu kan penguasa dunia orang mati?”
“Walapun begitu aku masih belum bisa menguasainya seperti yang tertera di buku...”
Misa dan selain saling berpandangan untuk beberapa saat sambil menghela nafas secara bersamaan.
“walaupun sudah bangkit sejak 500 tahun lalu tapi tetap saja masih belum sempurna tanpa dewa kematian yang lain... begitu juga POD... tanpa princess kekuatanmu hanya setengah... sedangkan aku butuh pengendali yang lain...”, ucap vera yang baru saja memasuki ruangan dengan tenang dan tanpa masalah sama sekali.
“Eh!? POV!?”, teriak selain dan misa terkejut.
“Udahlah... aku capek nyebut nama samaran”
“...”
- tempat shiro -
“Jadi ini rumah kepala desa? Tidak terawat banget...”, ucap shiro.
Dia berdiri di depan sebuah puing-puing reruntuhan rumah yang kelihatannya baru saja runtuk semalam.
“Heh... aku tidak tahu kau akan sampai secepat ini...”, ucap sesorang yang berdiri di belakang shiri. Jari-jarinya yang lentik memegangi wajah shiro dengan lembut.
“siapa kamu?”, tanya shiro dengan tenang tanpa beranjak dari tepatnya berdiri.
“Heh... dinginnya...”
“Aku tanya siapa!?”
“Hum... tidak akan ku jawab... lihatlah di belakang reruntuhan itu”, tangan yang sebelumnya mengerayangi wajah shiro bergerak dan menunjuk ke sebuah tempat. Shiro berjalan ke tempat yang di tunjuknya.
“kaze!?”, shiro berteriak dan berlari ke arah kaze yang tengah tergeletak di atas tanah. Namun kakinya terasa berat dan tidak bisa di gerakkan.
“Fufu... reaksi yang menarik... tapi jangan harap kau bisa pergi ke tempatnya begitu saja...”
“Apa maumu!?”
“Hanya menjalankan perintah dari tuan...”
“tuan...?”
“Hihi... tidak akan menarik kalau aku katakan sekarang... kau akan tahu cepat atau lambat”, gadis yang berdiri di belakang shiro kembali meletakkan tangannya di wajah shiro. Tapi tidak dengan lembut seperti sebelumnya. Melainkan mencakar wajahnya dengan kukunya dan membuat darah segar mengalir.
“Kh!? Kalau begitu siapa namamu? Jangan hanya berdiri di belakangku”
Perlahan gadis itu menurunkan tangannya dan berjalan ke depan shiro. Gadis itu adalah orang yang sebelumnya di temui oleh kyo, ega dan max...
“Chaos...”, ucap chaos dengan tenang dan tanpa masalah sama sekali.
“Cha... os?”
“Sebelumnya ke tiga temanmu menemuiku dan menghancurkan bangunan ini...”
“Tiga?”, shiro makin bingung dan tidak mengerti sama sekali dengan ucapan chaos.
“... bebal..”, gumam chaos yang langsung berbalik dan menghilang.
“Hah? Orang yang aneh... ah... kaze!”, shiro melihat ke arah tempat kaze tergeletak. Namun tidak ada apun yang dilihatnya, hilang tanpa bekas.
- tempat kup -
“Desa ini aneh... masak rumah kepala desa ada dua?”, gumam kup sambil terus menyingkirkan semak belukar yang tinggi menjulang untuk membuka jalan ke depan.
Berjam-jam sudah dia berjalan namun tidak menemukan ujung dari jalan itu, malam pun tiba dengan bulan purnama menghiasi langit yang gelap tanpa ada bintang yang menemani. Suara burung hantu dan gesekan rerumputan bergemuruh menghapus ke heningan malam.
“Hah... kapan sih ini nyempenya?”, ucap kup yang hampir kesal dan memutuskan untuk berhenti sejenak dan memikirkan ide lain untuk keluar dari situ.
Beberapa lama ia tenggelam dalam pemikirnnya dan secara tidak sengaja sekelebat bayangan melintas di atasnya.
“Barusan... keinginan adalah penggerak kekuatan... fantasy adalah penyelamat... transform...”, tanpa pikir panjang kup langsung berubah dan mengejar sesuatu yang berlari di depannya dengan sambil terus memutar pedangnya untuk memotong semak-semak yang menggagu.
Setelah berlari cukup sebentar ia sampai di jalan tepi dari rimbunan semak itu. Di sebuah jalan yang cukup sepi dan sebuah bangunan bergaya tua yang berdiri dengan kokoh di hadapannya.
“Kenapa g dari tadi aja gini? Repot amat gw dari tadi pagi...”, keluh kup pada dirinya sendiri.
“Kup?”, ucap seseorang yang berdiri di depan pintu masuk rumah itu.
“Hm? Lho shiro?”
“Werewolf..”, cahaya bulan bergerak menyinari orang yang berdiri di depan pintu itu. (detailna bayangin aja manusia serigala kayak apa).
“Sama aja toh...”, ucap kup sambil menyarungkan pedangnya.
“Yah... serahlah...”
“Kaze mana? Tadi kan kamu pergi jemput dia?”
“Kaze g ada disitu kok... dia ada disini”
“Eh?”
“Coba baca...”, shiro menyerahkan sebuah kertas lain yang ditemukannya di reruntuhan yang tadi di kunjunginnya.
Dalan kertas itu tertulis kalau kaze di bawa ke rumah kepala desa yang baru dan berada di arah yang berlawanan dari tempatnya berada sekarang.
“Hah... pan---“
“Wind slacer!”, dari dalam ruangan terdengar teriakkan yang tidak asing di telinga keduanya.
“...”, bangunan rumah itu terbelah menjadi dua bagain dan ambruk dengan sendirinya tanpa ada seorangpun yang terluka tertimpa reruntuhan itu.
“Kaze!?”, teriak shiro begitu melihat siapa yang berdiri di tengah reruntuhan bangunan itu.
“Ah.... shiro...”, kaze melambaikan tangannya ke arah shiro tanpa ada keraguan sama sekali dengan senyum lebar trlihat di wajahnya.
“Kaz... ini gimana?”, tanya kup agak bingung.
Kaze mengenakan kimono berwarna biru muda dan sebuah kipas kecil yang hanya ada pengaitnya. Namun saat kaze menghampaskan kipas itu akan terbuat angin besar yang dapat di kendalikan sesukannya.
“Um... g tau deh...”, jawab kaze sekenanya.
“Akh... tidak kalian tidak tema kalian... jangan menghancurkan rumah orang lain...”, chaos tiba-tiba muncul di belakang kaze dengan wajah penuh amarah dan memanggil beberapa anak buahnya.
“Wah... hebat...”, shiro menepuk kedua tangannya.
“Hehe... ayo beraksi shiro...”, dengan penuh semangat kaze melompat ke arah shiro dan mendarat di pundaknya sambil berdiri.
“lakukan sesukamu...”, ucap kup.
“Heh... jangan kira aku akan berbaik hati untuk kali ini... WOOD... WATER... FIRE... EARTH!!!”, chaos yang sudah kehabisan kesabaran langsung menggunakan sihir empat element sekaligus.
Namun shiro menghindar sambil melompat ke tempat yang lebih tinggi, saat ia mendarat di sebuah dahan pohon, rantng pohon itu mulai menjeratnya dan membuatnya tidak bisa melompat dari tempat itu. Saat ia berlutut untuk melepaskan ranting itu chaos mengambil kesempatan menyerang menggunakan element air.
Namun kaze berhasil menghalangi serangan itu dengan perisai yang terbuat dari angin dengan tetap mempertahankan kekuatannya untuk menahan sihir api milik chaos.
Sementara kup sibuk mengehindari serangan beruntun dari sihir tanah yang digunakan chaos tanpa tertalu lama berpijak pada suatu tempat.
“Kalau begini sih tidak akan ada habisnya...”, ucap kaze yang mulai kelelahan.
“Haha... larilah sepuas kalian... hahaha...”, chaos terus tertawa melihat musuhnya kesulitan menghindari serangannya yang beruntun.
“Cih... kalau bisa mendekatinya ini kan mudah...”, ucap shiro dan kup secara bersamaan.
“Akan kubuatkan jalan itu...”, terdengar seseorang dari belakang keduanya dan sekelebat bayangan mulai mendekati mereka.
“Love paradise...”, ucap max, ega dan kyo begitu muncul dari semak belukar. Serangan mereka menyegel 3 sihir milik chaos.
“Kalian lagi!?”, ucap chaos agak geram.
“Bukan Cuma mereka... Hell punish...”, die yang muncul dari semak belukar yang sama mengibaskan sabit dewa kematian berwarna silver total itu dan membuat beberapa gelembung yang manyebar ke berbagai arah dan menutup permukaan tanah. Menyegel sihir tanah yang digunakan oleh chaos.
Jubah berwarna silver dengan beberapa gambar tengkorak yang terbuat dari benang berwarna silver dikenakannya. Dilengkapi dengan sebuah topi ala kobi yang di beri sebuah pita hitam di sekitarnya.
“Grhhh...”
“Shiro! kaze! Sekarang!”, teriak kup yang menahan niatnya untuk bertanya karena memang tidak ada waktu untuk bertanya saat itu.
“Wind corridor...”, kaze mengikat chaos menggunakan angin yang ia buat menjadi seperti tali yang kuat.
“Beast claw”
“Thunder slash”, sedangkan kup dan shiro menyerang chaos secara langsung dan membuat tubuhnya terbelah 2.
“Yey! Berhasil!”, ucap kaze sambil melompat kesenengan.
“Belum kaz...”, ucap die dengan pandangan tajam ke arah tubuh chaos yang terbagi 2 tergeletak.
“Akh!? Hi... hilang?”, tubuh itu berangsur angsur hilang menguap dalam gumpalan-gumpalan hitam yang terus menyebar dan hilang begitu mencapai jarak yang tertentu.
- beberapa saat kemudian -
“Eh!? Die kepala desa Reinfort!?”, kup, kaze dan shiro mengucapkannya selama beberapa saat.
“Ada masalah?”, tanya die yang masih berusaha menahan tawa.
“Iya... kenapa ada 3 rumah kepala desa?”, ucap kup.
“Um... itu jebakan chaos... yang asli Cuma satu”, jawab die yang mulai menuang minuman yang baru dibuatnya.
“Lalu kenapa die bisa muncul di saat yang tepat?”, gantian shiro yang bertanya.
“Um... soalnya summon ku yang manis ini memberitahuku...”, ucap die sambil memanggil summonnya yang hanya berupa sesosok tengkorak dengan tinggi tidak lebih dan tidak kurang dari 30cm.
“Trus... die kapan ada di dimensi ini?”, lanjut kaze yang bertanya. Kup dan shiro mengambil cangkir minuman yang baru saja dituang oleh die.
“Um... sekitar 250 tahun yang lalu...”, ucap die tanpa ada keraguan sama sekali. Langsung saja kup dan shiro tersedak dan memuntahkan kembali minuman yang bahkan belum sempat masuk ke tenggorokan mereka.
“Duh... ayank! Kup! Jorok!”, ucap kaze dengan nada agak di tekan.
“Du... 250 tahun? G salah?”, tanya kup.
“Um... ah... salah denk...”
“Tuh kan... mungkin maksudnya 250 bu---“
“Yang bener 280 tahun...”, potong die sebelum sempat shiro menyelesaikan ucapannya.
“hantu kedua setelah mis!”, ucap kup, shiro dan kaze bersamaan sambil menunjuk die dengan wajah pucat.
“Ngawur... aku ini dewa kematian...”
“Eh? Dewa kematian?
“Yup...”
“beritahu kami tentang misa... the Queen of death...”, langsung saja kup menuju pokok masalah tanpa berniat menanyakan yang lainnya.
Die terdiam sesaat mendengar pertanyaan kup.
“baiklah... rupanya kalian tahu soal itu... akan kuceritakan mengenai... QOD, POV, POD, SOF, MF3”, ucap die yang berjalan menuju sisi jendela dimana bulan purnama dapat terlihat dengan jelas.
“hah?”, yang lain hanya bisa bingung tidak mengerti dengan ucapan die yang disingkat-singkat itu.
P.S:
From penulis yang mulai sedeng...
Ngomong-ngomong... trio okama g keliatan di akhir -.-“
Ada yang tau pada kemana? Ayo main tebak-tebakan ^_^
a. lagi sibuk bergaya ala mereka di tempat kejadian perkara
b. lagi di suruh-sururh die beberes kamar buat kup, shiro dan kaze
c. lagi pergi mengelana ninggalin yang lain
d. lagi berburu brondong sekalian nyalon
e. nyangkut di semak belukar begitu nyegel sihir chaos
Jumat, 15 Mei 2009
fantasy of j-clubs (bagian kedelapan)
“Love... attack...”, ega mulai menembakkan senapan laras panjang ke arah sekumpulan pria bertubuh besar yang bersiap menyerangnya.
Langsung saja sevuah balon besar keluar dan meledak seperti ebuah permen karet besar yang membuat para pria itu tidak bisa bergerak sama sekali.
“A... ampun...”, cap seorng pria yang merupakan ketua kelompok itu dengan nada memelas dan pandangan mata sayu.
“Ne... ne... lepaskan dulu kedua temanku”, ucap ega dengan nada di buat manja sambil mengedipkan matanya. Dengan sosok erubahannya saat itu para lelaki yang ada di sana tidak tahu kalau ega ternyata adalah laki-laki.
“Maaf nona... teman nona ada di dalam rumah itu”, ucap pemimpin itu.
Tanpa bicara apapun ega pergi memasuki rumah yang di maksud setelah melepaskan perkat yang baru saja di tembakknya.
“Ikh... aku bukan nona... aku adalah naughty okama”, ucap ega menggumam di sepanjang jalan hingga akhirnya ia sampai di sebuah rumah yang terlihat cukup tua dengan tanaman menjalar yang tumbuh menutupi sebagian besar tanaman itu.
Secara hati-hati dan perlahan ia memuka pintu masuk yang di gagang pintunya di penuhi lumut dan sudah berkarat di hiasi beberapa bunga warna hitam tumbuh mengelilinginya bagaikan tengah meghiasi pintu kayu tua itu.
“Ada orang?”, ucap ega sambil memasukkan kepalanya saja melihat ke dalam sebuah ruangan yang gelap gulita dengan hanya mengandalkan pencahayaan dari sela-sela lubang di atap.
Sesaat ega terdiam dan akhirnya memutuskan untuk masuk. Langkah demi langkah ega semakin masuk ke dalam ruangan terdalam dari rumah itu...
“Ega... huwee... tolong aku!”, ucap kyo begitu ega sampai di ruangan terdalam. Saat itu kyo dan max tengah terikat dengan seutas tali yang dililitkan pada kedua buah dan kaki mereka dengan kuat.
“Uwaaah... untung deh lu dateng! Buruan lepasin... tangan gw sakit ni...”, ucap max dengan nada sok.
“G usah gw tolong dah...”, jawab ega yang langsung berniat pergi meninggalkan keduanya.
“Ega! Tega amat lu!”, kyo langsung membentak ega yang berniat pergi itu. Langsung saja ega berbalik dengan wajah pucat.
“Napa ga?”, tanya max tidak mengerti.
“Kalian mau dilepasin?”, tanya ega agak lesu. Max dan kyo saling pandangan dengan pandangan penuh tanda tanya sampai akhirnya mereka sadar kalau ada sesuatu di atas kepala mereka.
“Cicek!? Wadaw!”, teriak kyo kaget yang langsung tenang kembali dalam waktu yang singkat.
“Cepet amat selisih antara kaget sama tenangnya kyo..”, ucap max agak kagum dengan reaksi kyo.
“Kenapa kudu lama-lama?”, gantian kyo.
Entah darimana tapi sebuah perdebatan dimulai tanpa ada satupun yang berniat melepaskan ikatan maupun cicak di kepala kyo yang sejak tadi dengan tenangnya berada di situ.
“Khi... khi... jadi kalian orang yang dimaksud itu ya?”, terdengar suara menggema dalam ruangan itu. Sontak perdebatan itu berakhir dengan pandangan menusuk ke segala arah dari ketiga orang itu.
“Siapa?”, tanya max dengan tenangnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Pikun! Ntu suara yang tadi nangkep kita!”, bentak kyo.
“Um... tunjukkan wajahmu please...”, pinta ega dengan nada manja. Dia berfikir kalau suara itu berasal dari seorang laki-laki... namun begitu pemilik suara itu keluar dari tempat persembunyiannya.
“Manis...”, ucap ega dan max secara bersamaan sedangkan kyo mengomel sendiri.
“Hihi...makasih ya...”, ucap gadis yang berdiri di depan mereka dengan tatapan lembut sambil tersenyum lembut.
“Transform end...”, ega berubah wujud kembali menjadi sosok yang biasanya reflek.
“Wah... makasih ya... sudah mau mengelah demi aku... kalau begitu...”, gadis yang berpakaian layaknya seorang dewi kematian itu menekan sebuah tombol yang berada tidak jauh dari tempatnya dan dalam hitungan detik semua pintu yang berada di ruangan itu tidak terkecuali jendela tertutup dengan rapat dengan tralis besi.
“Eh... a... anu...”, ega dan max agak ragu ingin melanjutkan ucapan mereka begitu melihat senyuman lembut terlukis di wajah gadis manis itu dengan sepasang mata sayu yang berwarna biru.
“Dasar cowok... pada kagak nyadar apa ya?”, gumam kyo dengan wajah pucat dan malas untuk mengucapkan apapun pada mereka.
“Nah... kalau begitu... pertunjukkan dimulai...”, langsung saja gadis itu mengeluarkan sabit dewa kematian dan membuatnya menjadi seperti seorang dewa pancabut nyawa berwajah manis.
“Woi! Ega! Lepasin nih iketan!”, langsung saja kyo berteriak ke arah ega. Namun ega memandang dengan wajah lemas denang cicak yang masih bertengger di kepala kyo.
Ega terus memandang cicak itu denang pandangan pucat sementara gadis itu hanya memperhatikan dengan seulas senyum nakal di wajahnya.
Beberapa menit sudah kyo dan max meminta ega untuk melepaskan ikatan mereka, tapi tidak ada jawaban sama sekali dari ega yang masih mematung di tempatnya.
“Tuh! Udah gw usir tuh cicak!”, ucap kyo yang mengibaskan kepalanya dan membuat cicak itu pergi. Dengan tenang ega akhirnya mau melepaskan ikatan pada max dan kyo.
“Kyo pinter juga...”, puji max sambil melepaskan tali yang sudah longgar itu.
“Cih... masak okama tertarik ma cewek! Inget! Kita trio okama!”, ucap kyo dengan bersemangat dan pandangan berapi-api.
“kapan gw setuju masuk genk trio!”, sangkal max yang langsung merinding mendengar hal itu.
“Ah... pura-pura lo max... padahal waktu pakai gaun kayaknya semangat banget...”, ucap ega dengan pandangan berbinar. Tidak ada satupun yang memperdulikan apa yang tengah dilakukan oleh gadis dewa kematian itu yang tengah sibuk mengutak-atik komputer mininya yang di tiap tombolnya dihiasi beberapa pernak-pernik warna cerah.
“Main apa?”, sela kyo yang meninggalkan max dan ega untuk adu mulut beberapa saat.
“Hem... okama game... mau ikutan?”, tanya gadis itu sambil tersenyum.
“bisa main berdua? Ikut!”, jawab kyo bersemangat. Entah ada yang salah alur atau memang tidak beres... yang jelas kyo dengan gadis itu menjadi akrab sekali untuk beberapa saat.
“Pokoknya aku g ikut-ikutan soal okama!”, ucap max sambil memukul tembok dengan cukup kuat.
“Mau menyangkal seperti apapun juga kamu sudah terdaftar menjadi anggota okama! Jadi harus terima!”, balas ega memaksa.
“Kanapa maksa banget sih ga!?”
“Tentu aja! Untuk melestarikan okama yang sudah hampir punah! Aku akan mendirikan suaka marga satwa untuk okama dan menangkar semua okama!”, jawab ega penuh semangat sambil berputar-putar di lantai.
“Ogah ah...”, max memandang ega dengan pandangan kosong tidak tahu harus mengucapkan apa.
“Yei! Menang!”, ucap kyo sambil mengangkat tangan kanannya dengan senyum penuh kebangaan.
“Wah... tidak terlihat seperti amatir ya...”, ucap gadis itu sambil tersenyum lembut.
- tinggalin dulu yang disini dah -
“Misa! Misa! Misa!”, panggil selai berkali-kali tanpa ada tanggapan sama sekali dari misa yang sibuk mengutak-atik boneka yang ada di depannya.
“Napa sih POD? Kan sudah kesepakatan manggil dengan nama wujud perubahannya...”, ucap vera yang tengah membolak-balik sebuah buku yang tebalnya sekitar 60 cm.
“Kepanjangan tahu...”, jawab selain agak malas.
“Singkat aja jadi QOD... kayak kamu yang seenaknya nyingkat namaku jagi POV”, ucap vera tanpa mengalihkan pandangan dari buku itu.
“Wahaha... POV pinter!”, ucap selain sambil menjentikkan jarinya.
“Tapi kayaknya namanya aneh banget ya...”, vera buru-buru menambahkan ucapannya.
“Gubrak! POV!!!!”, langsung saja selai terjatuh ka lantai.
“Haha... udah napa... sekarang jangan ngurusin nama... bantuin aku nerjemahin ini bahasa... bingung...”, ucap vera yang langsung melemparkan buku yang sejak tadi dibacannya pada selain.
“Ya ilah... 5 jam lebih ni buku lu bolak-balik Cuma dapet selembar?”
“Gw kan g ngerti tu bahasa kayak lu...”
“Gantian! Misa aja yang ngerjain!”, balas selain setengah membentak dan menunjuk ke arah misa.
“Misa kan lagi sibuk ngerjain anak dome”
“Hah? Itu kan tugas mu....”
“Tukeran!”, teriak vera.
Misa tidak menjewab apapun dan sibuk memeinkan bonekannya yang tersambung pada seseorang yang masih belum diketahui siapa.
- kembali ke arena g jelas -
“Yak! Kemenangan 2 kali berturut-turut!”, kyo membanggakan kemenagannya atas game okama yang tengah dimainkan olehnya.
“...”, gadis yang menjadi lawan bermainnya hanya tersenyum lembut. Sementara max dan ega masih sibuk bertengkar.
“Ah! Pokonya ku g mau!”, teriak max dengan suara lantang.
“Mau g mau harus!”, balas ega dengan suara yang tak kalah lantang.
“Baiklah... game... over...”, ucap gadis itu sambil menepuk tangannya dan langsung saja keluar banyak arwah dari tanah yang mereka pijak.
“Kyaa... hantu!?”, teriak max dan ega secara bersamaan.
“Tadi cicek... sekarang hantu... entar?”, gumam kyo sambil mengalihkan pandangannya.
“Berikutnya? Kematian kalian”, jawab gadis itu tapa ragu dan menunjuk ke arah kyo sambil tersenyum lembut namun matanya seolah mangatakan untuk menyerang mereka.
Langsung saja para arwah itu menuju ke arah max dan ega yang berada di sudut ruangan. Namun sebelum berada si jarak 30 cm dari ke dua orang itu para arwah itu langsung berhenti dan tidak bergerak sama sekali.
“E? Eh? Berhenti?”, ucap ega mengibas-kibaskan tangannya.
“Udah! Bingungnya nanti aja!”, ucap kyo membentak.
“Iya juga... lagipula selama 15 hari jalan-jalan ada yang di dapat...”, ucap max sambil tersenyum licik.
Mereka bertiga saling berpandangan dan melemparkan senyum. Gadis bermata biru itu masih mematung bersama dengan arwah-arwah yang di panggilnya.
“keinginan adalah penggerak kekuatan... fantasy adalah penyelamat... transform...”, teriak ketiganya secra bersamaan disusul dengan cahaya yang menyelubungi ketiganya.
“Lady okama!”, kyo mengenakan sebuah seragam sailor dengan sebauh pita di dadanya yang berwarna merah. Sepasang senapan laras pendek berwarna pink berada di kedua tangannya. Dan tanpa ragu ia putar ke dua senapan itu dengan lincah.
“Hime!?”, max mengenakan sebuah gaun putih yang dulu digunakannya saat pertama kali bertemu dengan anak dome dengan sebuah kipas putih besar di bawanya.
“Naughty okama!”, kalau ega... baca bagian sebelumnya ae...
“Gh... terlambat...”, ucap gadis bermaa biru yang akhirnya dapat bergerak kembali lagi itu.
“Benar... sudah terlambat... double love!”, ucap kyo sambil mengedipkan matanya dan menembakkan peluru berntun ke arah para arwah itu. Dan begitu peluru itu menembus tubuh para arwah peluru-peluru kyo bersarang di dalam tubuh arwah-arwah itu.
“Giliranku... Love life!”, ucap max sambil mengibaskan kipasnya dan angin kencang menerpa para arwah itu yang membuatnya menjadi memiliki tubuh kembali.
“Dan sekarang... love attack...” (udah beberapa kali ditulis!)
“Love... paradise...”, langsung saja ke tiganya mengucapkan hal itu secara lantang. Sebuah ledakan besar terjadi dan yang tersisa kini tinggal gadis bermata biru itu.
“Sekarang tinggal kau sendiri”, ucap kyo dengan santai dan tanpa beban sama sekali.
“Heh? Kau pikir ini sudah selesai!”, ucap gadis itu dengan penuh percaya diri.
“Halo? Kau sudah terdesak...”, ucap max sambil menggeruk kepalanya yang sebenarnya memang gatal gara-gara model rambutnya yang berubah drastis.
“Terdesak? Hah? Hahahaha...”, gadis itu tertawa dengan lantang. Senyum lembut dan pandagan mata sayu yang tadi ditunjukkan olehnya hilang. Pandangan penuh amarah dan senyum licik kini mengganyikan wajah ramahnya.
“Cukup! Kenapa ketawa!?”, tanya ega sambil berteriak dan mengarahkan senapannya pada gadis itu.
“Tembak saja... walaupun aku mati setidaknya Castel of Drakness akan terus ada dan abadi...”, ucap gadis itu tanpa menampakkan rasa takut sama sekali yang langsung menebas senapan ega dengan sabitnya dan membuatnya terbelah menjadi dua.
“Katanya tembak saja!?”, teriak ega dengan lantang.
“Aku memang bilang begitu... tapi aku tidak bilang akan membiarkan...”, ucap gadis itu dengan tenang.
“Cih... sebenarnya kamu siapa?”, tanya kyo bingung.
“Aku? Namaku chaos...”, ucap gadis itu. Bersamaan dengan ucapan gadis itu tanaman menjalar yang tumbuh di ruangan itu melilit tubuh ketiganya dengan kuat dan erat.
“!?”
“Hm... tanaman yang manis bukan?”, ucap chaos yang bersiap menghempaskan pedangnya itu lagi.
“Manis gimana?”, ucap kyo setengah membentak.
“Tentu saja manis... mereka mau mendengarkan semua ucapanku... teman terbaik...”, ucap chaos.
Bunga dari tanaman menjalar itu mulai berkembang dan menyebarkan serbuk ke arah kyo, max dan ega. Pandangan ketiganya mulai membuyar dan tubuh mereka melemas. Dan akhirnya tak sadarkan diri, tanaman itu langsung melepaskan mereka atas perintah chaos.
“Hm... mereka ini benar-benar terlalu lemah... padahal aku tidak sungguh-sungguh”, ucap chaos sambil memandang ke bawah dengan tatapan sinis.
“Tentu saja akan seperti itu! Kau memakai cara yang licik!”, terdengar sebuah suara menggema.
- beberapa jam lewat -
“Ah... um...”, kyo mulai tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sebuah kamar yang tertata dengan rapi. Tirai berwarna putih melambai-lambai di terpa angin malam yang masuk dari jendela yang terbuka.
Dengan tubuh yang masih lemas ia berjalan menuju jendela dan memandang ke arah luar. Sebuah padang rumput terhampar luas di hadapannya, padang rumput yang luas dan indah.
“Sudah bangun ya?”, ucap seseorang begitu membuka pintu sambil membawa sebuah vas bunga mawar berwarna hitam.
“Akh!? Die!?”, teriak kyo beitu melihat siapa yang baru saja datang.
“Haha... long time no see”, ucap die sambil tersenyum.
“Yang lain mana?”, tanya kyo penasaran begitu menyadari kalau ega dan max tidak ada.
“Ada di kamar lain... tenang saja... mereka tidak apa-apa kok...”
“Tapi... tadi kami kan ada di sebuah rumah tua? Kenapa sekarang...”
Die terdiam mendengar penuturan kyo dan hanya tersenyum tipis dengan pandangan lembut dan menaruh vas yang di bawanya ke atas meja.
“Kalau aku cerita hal itu sama saja bohong”, ucap die menuju ke pintu keluar.
“Ekh? Mau kemana die?”
“Ikutlah... ada yang ingin ku tunjukkan”, ucap die denan tenang.
Kyo mengikuti die dengan wajah penuh penasaran. Die terus berjaan menuruni tangga hingga akhirnya berhenti di ujung tangga yang terhalang oleh sebuah tembok yang dipajang sebuah lukisa dewa kematian.
“Em... kyo? Ini...”
“Jalan buntu yang trhubung menuju suatu tempat...”
“Lalu kenapa mengajak ku ke sini? Kau tahu jalan membukanya?”
“Heh? Jelas g tahu... tapi seseorang tahu...”
“Hah?”
“Kamu sudah bertemu dengan yang lain?”
Kyo mengangguk.
“Kalau katsu?”
“Um... dia emang pernah muncul beberapa saat... tapi selalu pergi...”
“Yah... sama saja bohong...”
“Memang kenapa?”
“Katsu tahu cara membuka pintu ini...”, ucap die sambil menggaruk kepalanya. Akhirnya mereka kembali ke atas tanpa hasil apa-apa.
“Um... mungkin bisa tanya sama nak cafe...”, ucap kyo memecah keheningan.
“Cafe?”
“Iyap! Bentar!”, kyo berlari mendahului die menuju kamar tadi dan mengambil liontin pemberian ai di tas milik max.
“Ah... prentan toh...”
“Yup... no 8”, ucap kyo sambil melempar liontin ke tempet die.
Tanpa ragu die langsung menekan tombol no 8 dan keluar hologram yng menampakkan pemandangan kafe yang sedang sepi.
“G ada orang?”, ucap kyo bingung.
“Meja no 2 tersambung!”, tiba-tiba leme muncul dan membuat die langsung melempar liontin itu saking terkejutnya.
“le... leme!?”
“Yo ha! Lagi sepi dan bosan nih...”, ucap leme dengan nada datar.
“Lem!? Ada katsu?”, die meraih liontin itu dan langsung bicara ke pokok masalah.
“Katsu? Lagi kencan sama arsellec... leme juga mau gitu”
“Hah!?”, kyo dan die tidak begitu mengertio dengan ucapan leme.
“Iya... katsu dah gabung ke cafe... tapi tiap hari pada kencan! Katsu sama arsellec! Alex sama seiront! Miss jalan-jalan sama mei! Ai sibuk di kantor! Leme send---“, belum sempat ucapan leme terdengar semua die langsung mematikan sambungan itu.
“Barusan kayaknya bakal panjang kalau di lanjutin”, ucap die dengan wajah pucat.
“haha... bener! Bakal lama... tapi gw g tahu kalau bakal jadi parah begitu...”
Kyo dan die saaling berpandangan untuk beberapa saat dan akhirnya saling tertawa bersama. Hingga membuat max dan ega yang baru saja sadar di kamar sebelah mengitip dari balik pintu dengan pandangan bingung dan tidak mengerti sama sekali.
- rumah tua tadi -
Di rumah tua tadi tidak ada lagi rumah tua yang berdiri. Yang tersisa hanyalah sisa-sia reruntuhan. Dan chaos yang berdiri dengan pandangan penuh amarah.
“Dia... aku tidak sangka kalau cicak itu adalah jelmaan... jelmaan dari dewa kematian setelah nona misa... die... the reaper!”, ucap chaos sambil memegangi tangannya yang terus mengeluarkan darah segar dari bekas luka sabitan.
“Chaos... kemarikan tanganmu...”, ucap seseorang yang wujudnya hanyalah samar-samar.
“Akh... nona... anda samapi menggunakan kekuatan pikiran nona... maafkan hamba...”, ucap chaos sambil berlutut.
“Tidak apa-apa... Power of healing...”, ucapnya yang langsung memanggil makhluk panggilan yang bentuknya tidak terlihat jelas juga.
P.S :
From penulis yang mulai sedeng...
Die nyamar jadi cicek yang nemplok di kepala kyo loh =.=”
Ada yang tahu kenapa die milih jadi cicek?
a. pengen ngerjain ega
b. pengen nempel di dinding kayak spidermen salah transform
c. pengen makan nyamuk
d. pengen ngagetin chaos
e. g bisa jadi hewan yang lain
Kamis, 07 Mei 2009
fantasy of jclubx (bagian keenam dan ketujuh)
“Namaku katsu... perubahan wujudku adalah half antara angel dan demon. Untuk saat ini aku masih netral dan tidak memihak pada siapapun. Terdampar di dimensi ini sejak 300 tahun lalu... karena wujud perubahanku aku dapat hidup kekal berbeda dengan miss yang belum berubah... dan entah kenapa... sekarang aku berada di kamar ini...”, ucap katsu sendiri di sebuah kamar luas yang cukup feminim karena di dominasi oleh warna pink.
“Tuan... anda bicara sendiri...”, ucap seorang iblis kecil yang muncul dari kalung yang digunakan oleh katsu.
“Begitulah... entah aku sedang sial tau apa...”, ucap katsu menghela nafas panjang sambi membuka jendela. Semilir angin menerpanya dan membuat rambutnya yang panjang menari-nari dengan indahnya.
“Tuan?”
“Sudah satu minggu lebih tidak ada kabar dari malaikat itu...”, ucap katsu pelan. Malaikat yang dimaksud adalah malaikat yang sebelumnya digunakan oleh katsu untuk memata-matai vera dan selai.
“”My princess katsu!”, seseorang langsung masuk menerobos kamar katsu sambil membawa karangan bunga mawar.
Katsu berbalik dan melihat arsellec berdiri di sana dengan pandangan berbinar.
“Ada apa?”, tanya katsu agak ketus dan sinis.
“Coba lihat... ku bawakan kau sebuah buket mawar merah...”, ucap arsellec sambil menyerahkan karangan bunga yang dibawanya.
“Ah... terimakasih... tapi aku harus pergi sekarang... ada hal yang harus kupastikan...”, ucap katsu yang tanpa ragu berubah wujud di depan arsellec. Baju tidurnya yang tadinya berwarna hijau muda berubah menjadi sebuah pakaian ketat khas demon namun ditambah kain transparan panjang berwarna putih dengan renda-renda khas malaikat.
“Mau pergi kemana? Lukamu sudah sembuh?”, tanya arsellec panik.
“...” katsu tidak mengucapkan hal apapun dan langsung hilang menjadi abu.
“Dia... hilang...”, arsellec terdiam mematung sendiri. Di dalam kamar yang kosong, buket bunga yang di serahkannya barusan tergeletak di lantai tanpa ada yang memungutnya. Dengan lemas ia melangkah keluar meninggalkan ruangan itu sambil menghela nafas.
“Tuan... dia sudah pergi...”, ucap iblis kecil milik katsu yang keluar dari dalam abu. Perlahan abu tadi bercahaya hitam dan kembali menjadi katsu.
“Walau dibilang hilang aku cuma berubah jadi abu dan tidak kemana-mana...”, ucap katsu membenahkan pakainnya yang masih dipenuhi abu sisa perubahannya.
“Tapi cara itu selalu berhasil untuk melarikan diri dari para dome member tuan...”, ucap iblis itu sambil tersenyum licik.
“Iya... tapi... kenapa aku harus repot-repot kabur darinya? Lagipula Cuma lecet dia memintaku menginap hampir 1 minggu”, gumam katsu sambil memperhatuikan buket bunga mawar yang tadi diterimanya. Setelah berfikir beberapa lama katsu akhirnya mengambil buket mawar itu dan membawanya pergi terbang ke luar jendela.
Katsu terbang dengan 2 pasang sayap yang berbeda, sepasang sayap iblis dan sepasang sayap malaikat yang membuatnya menjadi memiliki 4 sayap tumbuh di punggungnya.
Setelah terbang sekitar 15 menit katsu mendarat di atap dome kafe, namun lagi-lagi dia terpeleset dan jatuh ke dalam membuat lubang di atap.
“Wew... pertama kalinya kau muncul kayak gini kat...”, ucap miss yang berdiri tepat 4 cm dari tempat katsu jatuh. Katsu hanya terdiam dan melihat ke sekitar.
Di kafe itu hanya ada 2 orang di tambah dirinya, mei yang sibuk mengelap gelas sedangkan miss yang menegurnya.
“Yang lain?”, tanya katsu agak sinis.
“Pergi... sekarang tinggal aku sama 4 orang lainnya yang tinggal”, ucap mei agak sinis.
“Begitu...”, ucap katsu yang berniat melangkah pergi.
“Bentar! Kasih tahu dulu cara berubah!”, miss menarik tangan katsu dan membuatnya tidak bisa berjalan.
“Bukannya aku sudah bilang pada kup?”, tanya katsu agak bingung. Mei dan miss hanya menggelengkan kepala tanda tidak mengerti.
“... Ya ampun... katsu menggelengkan kepalanya menghela nafas untuk beberapa saat. “Yang jelas kalian harus benar melafalkan kodenya...”, ucap katsu yang langsung menepis tangan miss.
“Ah! Mau pergi kemana?”, tanya mei berusaha menghalangi.
“Aku kan sudah menjawab pertanyaan kalian. Jadi biarkan aku per---“
“Wah... karangan bunga yang indah... mau kau berikan pada siapa?”, belum sempat katsu menyelesaikan ucapannya miss langsung mengambil buket bunga dari tangan katsu.
“I--- itu bukan milikku”, katsu sertengah membentak dan mulai salah tingkah.mei dam miss yang menyadari hal itu melihat ke arah katsu dengan pandangan usil.
“Dari siapa nih? Uwaah... katsu sudah besar ya...”, ucap mioss berusaha meledek.
“Katsu... ayolah... tradisi dome kafe... pajak jadian...”, tambah mei sambil membuat 3 cangkir minuman.
“Gw kagak jadian”, ucap katsu dengan wajah merah merona. Bertepatan dengan hal itu pintu kafe terbuka dan terdengar bunyi lonceng. Katsu refleks melihat siapa yang ada di pintu. Matanya terbelalak melihat siapa yang baru saja datang, rambut emas yang diikat di tambah sepasang bola marta berwarna emas dengan jubah putih bersih bediri di sana.
“Yo! Corard... lama tak jumpa...”, ucap miss sambil membungkukkan badannya.
“Miss... tingkah mu yang formal bertolak belakang dengan ucapan mu”, ucap elf itu sambil tersenyum lembut ke arah katsu.
“ARSELLEC!?”, ucap katsu berteriak hingga terdengan sampai jauh.
“Kat... please jangan teriak-teriak di kafe orang...”, ucap mei sambil melemparkan sebuah dadu yang tersimpan di laci.
“Wew... nggak sopan lho kat... dia ini pemimpin di kota ini...”, ucap miss sambil mengibas-ngibaskan jari telunjuk kirinya.
“Tidak apa-apa kpk miss... aku senang kalau katsu ingat pada namaku...”, ucap arsellec sambil membungkuk dan meraih tangan katsu. Dengan lembut ia kecul punggung tangan katsu. Dalam sekejap wajah katsu langsung menjadi merah merona. Mei dan miss terdiam beberapa saat.
“Kalo ada leme dia pasti bawa pop corn banyak nih...”, ucap miss dengan senyum usil yang di balas dengan senyuman usil lain dari mei.
“Nonton di pojok yuk...”, ucap mei sambil menuju pintu untuk memutar tanda open menjadi closed. Dan kembali ke pojok ruangan tempat miss dan leme biasa menonton drama yang diperankan oleh orang lain.
“Hehe... aku senang... karena kau mau membawa buket bunga dariku...”, ucap arsellec sambil mengadahkan kepalanya dan melihat kie arah katsu dengan pandangan lembut. Katsu hanya terdiam beberapa saat dan wajahnya masih terlihat agak kemerahan.
“I--- ini... aku bawa tidak sengaja...”, ucap katsu asal.
“Kalau begitu kenapa kau membawanya? Bukankah kau tadi meninggalakannya di kamarku?”, tanya arsellec berusaha membuat katsu terpojok.
“Ukh... ini ku bawa untuk mengunjungi makam seseorang!”, ucap katsu yang langsung menepis tangan arsellec yang masih menggengam tangannya. Sedangkan miss mengambil makanan yang berada di tangan mei dan memakannya.
“Makam? Memang di sihni ada makam?”, tanya arsellec yang tahu kalau di dunia itu tidak ada seorang pun yang dikubur. Karena bagaimanapun juga mereka kan hidup kembali menjadi bayi.
“A... ada...makam miss...”, ucap katsu sambil menunjuk miss yang baru saja menggigit sebuah coklat dan jadi tersedak.
“Miss? Memangnya kamu punya makam?”, tanya arsellec makin bingung.
“Tidak juga...”, ucap miss sambil tersenyum dan langsung kabur dari ruangan itu tanpa mngucapkan hal apapun meninggalkan mei menonton sendiri.
“... Nggak seru kalo nonton sendiri... aku tinggal...”, ucap mei yang berdiri meninggalkan mereka menuju lantai 2. Di lantai 2 ia melihat miss yang menintip melalui celah-celah di lantai yang tepat berada di atas arsellec dan katsu.
“Masih penasaran ya?”, tanya mei iseng, miss hanya meletakkan telunjuk tangannya tepat di depan bibir mungilnya.
“Su... sudahlah... a... aku ada kerjaan...”, ucap katsu agak kikuk.
“Em...”, arsellec hanya mengangguk pelan dan membiarkan katsu pergi begitu saja karena tidak mau menggangu gadis itu.
Setelah katsu hilang dari padangan ia melihat kesekeliling dan mendapati dirinya terus di perhatikan oleh iblis kecil milik katsu.
“Kau suka apa tuan?”, ucap iblis itu tanpa memperdulikan majiknnya yang sudah pergi entah kemana.
“Kelihatan sekali ya...”, arsellec menggaruk pipi kirinya dan mulai jadi salah tingkah.
“Iya... kelihatan... tapi kau tahu siapa tuan kan...”
“Yah... begitulah...”, pandangan mata arsellec menjadi kosong dan tidak bersemangat.
“Kau dan tuan tidak bisa bersama...”, blis itu pergi terbang mengikuti kemana majikannya tadi pergi meninggalkan arsellec dalam lamunannya.
“Aku memang bodoh...”, ucap arsellec sambil tertawa lirih.
Mei dan miss terus memperhatikan dari atas dengan pandangan sayu. 1 jam sudah kejadian itu berlangsung dan tidak ada tanda-tanda kalau arsellec mau beranjak dari tempatnya berdiri. Begitu juga mei dan miss sampai pada akhirnya...
“Mei!? Kok papannya closed sih!?”, teriak alex membuyarkan suasana hening.
“Waa...”, arsellec sadar dari lamunannya dan langsung menoleh ke arah pintu masuk dan melihat alex dengan pandangan penuh amarah. Disamping alex berdiri seirong yang membawa beberapa kantung belanjaan milika lex.
“Eh? Seir?”, ucap arsellec bingung.
“Em? Kau kenal seir?”, tanya alex sambil menunjuk ke arah arsellec yang berdiri di tengah ruangan sendiri.
“Yup... dia corard... pemimpin tertinggai”, ucap seir sambil tersenyum lembut ke arah alex.
- Di tempat yang antah barantah –
“Kenapa aku jadi canggung gitu sih?”, gumam katsu sambil melemparkan batu ke arah danau yang terbentang luas di hadapannya. Ia duduk menatap lurus ke arah lukisan yang sedang dilihat olehnya.
“Kamu datang lagi?”, ucap seseorang yang berdiri di belakang katsu. Seorang elf wanita berdiri di belakangnya dengan pandangan lembut dengan rambut perak yang dikepang.
“Ah... kebetulan kita selalu bertemu disini”, ucap katsu agak sinis sambil terus melemparkan batu ke tengah danau.
“Kau... sedang ada masalah?”, elf itu menatap katsu dengan pandangan lembut. Katsu terdiam sesaat sambil memperhatikan senyum di wajah elf itu dengan pandangan bingung. “Kau pasti berfikir kenapa aku bisa tahu kan?”, tambah elf itu katsu hanya mengangguk pelan.
“Yah... mudah saja... kau ingat saat pertama kali kita bertemu?”
“Ya...”, katsu menjawab lirih dan mulai mengingat akan memory masa lalu saat dia baru ada di dimensi ini 200 tahun lalu...
“Danau yang indah...”, ucap seorang gadis kecil berambut perak yang dipotong pendek denmgan mata sayu (Sudah flash back ya...).
Gadis itu duduk di tepi danau di bawah pohon yang rindang sambil terus melihat sekitarnya. Tidak ada seorng pun yang dilihatnya, di buai oleh semilir angin yang bertiup gadis kecil itu tertidur dengan lelapnya.
“Gadis ini... kenapa tidur di tempat seperti ini?”, ucap katsu yang sedari tadi memperhatikan anak perempuan elf itu dari atas pohon tempat gadis itu tertidur.
“Em... aku... ketiduran?”, ucap gadis itu sembari membuk matanya yang terpejam secara perlahan. Di dapatinya sebuah mantel putih di padu warna hitam menyelimutinya.
“Kau sudah bangun...”, ucap katsu sontak membuat gadis itu terkejut.
“Ah... ini...milikmu?”, tanya gadis itu agak ragu.
“Ambillah... itu untukmu saja...”, ucap katsu yang langsung pergi meninggalkan gadis itu sendiri.
“Em? Dia aneh...”, gadis itu terus memperhatikan ke arah katsu yang berangsur-angsur menjauh dengan kecepatan tinggi darinya (Flash back selesai).
“Hehe... pertemuan pertama yang aneh... tapi sejak itu kita selalu bertemu disini dan sejak itu aku hapal kebiasaanmu”, ucap elf itu sambil menuangkan minuman ke gelas kosong yang di pegang oleh katsu.
“Hah... tapi itu kan kau sengaja...”
“Kalau tidak mau bertemu juga tidak usah kesini kan?”, tanya elf itu yang membuat katsu tersedak. “Hehe... tapi kau sama sekali tidak berubah...”, tambah elf itu.
Katsu terus terdiam dan meneguk minumannya hingga habis dan terdiam memandangi gelas kosong yang ada di tangannya.
“Elf... memilki umur yang panjang... tapi kalian terus tumbuh secara perlahan... berbeda dengan kami...”, gumam katsu dengan pandangan menerawang.
“Eh? Tapi kan percuma saja... karena kutukan kami tidak bisa memiliki anak dan terus hidup dari tubuh kami yang sebelumnya tanpa ingatan dan harus belajar dari awal...”
“Ya... tapi kenapa temanku bisa meninggal dan menjadi hantu?”
“Hah? Pertanyaan mu aneh...”
“Eh?
“Di dunia ini...”, katsu langsung pucat mendengar penuturan dari elf itu. Semilir angin meniup rambutnya yang panjang beserta gaunnya.
Secara perlahan ia berdiri dan memandang ke arah danau dengan pandangan sayu dan terdiam beberapa saat. Elf yang bersamanya terus memandangnya dengan pandangan tidak mengerti akan apa yang sedang di pikirkan katsu.
- Dome Kafe -
“Eh? Bohong ah!”, ucap leme tidak percaya sama sekali dengan cerita yang baru saja didengar olehnya dari miss dan mei.
“Ih! Serius!”, ucap miss menyakinkan dengan pandangan berbinar.
“Uwawawawa... kenapa dibiarin kabur? Leme mau lihat... mau li---“
“Lihat apa?”, potong katsu yang masuk dari lubang yang tadi pagi dibuat olehnya sendiri.
“Lho? Katsu? Tidak biasanya kau ke sini?”, tanya mei agak penasaran.
“Ada yang ingin ku pastikan...”, ucap katsu sambil memandang miss dengan pandangan tajam.
“Eh? Apa? Aku?”, miss menunjuk ke dirinya sendiri dengan pandangan tidak mengerti ke arah katsu.
“Nanti saja lah”, katsu mengurungkan niatnya begitu melihat seseorang yang masih berada di kafe itu dengan pandangan lurus ke arahnya.
“Jangan pergi lagi!”, leme langsung menarik gaun katsu dan membuatnya hampir robek. Katsu berbalik dan melihat ke arah leme dengan pandangan bingung.
“Kenapa kamu menghindari kami?”, tanya miss dan mei secara bersamaan.
“Aku tidak menghindari...”, katsu menggelangkan kepalanya.
“Kalau begitu kau menghindari ku ya...”, ucap arsellec malangkah ke arah katsu dan berdiri di depannya dengan pandangan sayu.
Leme, miss dan mei mengendap-endap menuju tangga di lantai atas dan melihat ke jadian itu dari lubang di lantai 2 yang sebelumnya di gunakan oleh miss.
“Kenapa aku harus menghindarimu?”, ucap katsu tidak mengerti.
“Corard!? Kamu itu minta di bunuh apa!?”, teriak seseorang yang membuka pintu dengan keras. suara teriakkan itu membuat arsellec langsung mematung, namun bagi katsu suara itu terdengar tidak asing ditelingannya.
Katsu melihat ke arah pemilki suara itu dan melihat elf yang 2 jam lalu ditemuinya di tepi danau berdiri dengan pandangan ingin membunuh ke arah arsellec.
“Ma—ma... margareth!?”, arsellec setengah berteriak dengan pandangan kaku. Katsu melihat ke arah arsellec dengan pandangan bingung.
“Kamu itu... minta dibunuh ya?”, elf itu langsung menarik anak panah yang di pegangnya ke arah arsellec yang menghindar dengan cukup baik.
Katsu terdiam beberapa saat melihat perubhan sikap dari margareth yang biasanya bersikap manis di depannya kini menjadi seorang elf yang brutal. Saat margareth akan menembakkan panahnya ke dua, katsu beranjak dari tempatnya dan menahan tangan margareth agar tidak melepaskan anak panah itu.
“Ah... ka--- katsu...”, margareth sontak terkejut begitu menyadari kalau katsu ada di situ.
“Sepertinya karaktermu berubah dari sebelumnya”, ucap katsu tenang.
“Ah... iya... begitulah...”, margareth mulai salah tingkah.
“Hem? Ma-chan... bersikap lembut?”, arsellec diam mematung melihat perubahan sikap dari margareth yang dikenalnya sebagai wanita yang brutal menjadi wanita yang manis di depan katsu.
“Habisnya... sebagai corard dia sudah kabur dari tugasnya...”, ucap margareth agak kesal dan menahan amarah.
“Aku g kabur!”, arsellec agak membentak mendengar alasan margreth.
“Kalau g kabur lalu kenapa kamu ada disini meninggalkan pekerjaanmu?”, tanya margareth. Arsellec terdiam sesaat memikirkan pertanyaan margareth.
“Ada apa? Kenapa tidak menjawab?”, katsu bertanya kepada arsellec yang berfikir keras.
“Ka---karena... ada yang ingin ku temui di sini...”, ucap arsellec memalingkan wajahnya berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai merah padam.
“Siapa?”, tanya katsu dan margareth bersamaan. Arsellec terdiam beberapa saat.
Sementara para penonton di lantai 2 terus melihat dengan seksama dan tidak mau mengedipkan barang sedetikpun mata mereka.
“Uwah... ini cinta segitiga ya?”, tanya leme dengan pandangan berbinar.
“Hihi...katsu populer juga...”, ucap miss sambil menahan tawanya.
“Sttt...”, mei meminta mereka diam agar ia bisa mendengar pembicaraan mereka secara lebih lanjut.
Di bawah arsellec masih terdiam tanpa mau menjawab pertanyaan kedua wanita di hadapannya yang memandanganya penuh penasaran.
“A... aku mau pergi dulu... banyak kerjaan!”, ucap arsellec salah tingkah dan berlari keluar kafe. Magareth menyadari wajah arsellec yang merona merah.
“Hum... apa mungkin arsellec jatuh cinta...”, ucap margareth agak bingung.
“Memangnya itu salah?”, katsu melihat ke arah margareth dengan pandangan bingung.
“Tentu saja! Soalnya di jatuh cinta pada oranga yang salah”
“Hah?”
“Katsu tidak akan kuserahkan pada siapapun! Walaupun itu arsellec”, ucap maragreth dengan pandangan serius ke arah katsu. Wajahnya merah padam dengan beberapa kali menghela nafas menggunakan mulutnya.
“Kamu masih sadar kan?”
“Tentu saja... sejak pertemuan pertama kau sudah jatuh hati padamu... karena itu...”, maragreth mengecup tangan katsu dengan lembut seperti arsellec tadi. Langsung saja wajah katsu manjadi pucat.
“A--- aku pergi!”, ucap katsu yang langsung menarik tangannya dan terbang keluar.
“... ... ...”, tidak ada suara terdengar dari lantai atas. Mei, leme dan miss masih belum percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Beneran nih?”, tanya leme sambil mencubit pipi mei.
“Adaw! Sakit lem!”, mei memukul tangan leme dengan keras.
“Cinta segitiga kali ini...”, mjiss menghentikan ucapannya dan tersenyum ke arah leme dan mei.
“Pantas untuk dilihat sampai akhir!”, ucap ketiganya bersamaan.
“Baiklah... kalau begitu... serahkan padaku...”, miss langsung merapalakan beberapa mantra. Lantai kayu disekitarnya mulai bercahaya dengan diameter sekitar 2-3 meter. Sinar itu membentuk suatu pola yang terlihat seperti tulisan kuno. Dari tengan siar itu mulai muncul sesosok mahkluk mungil.
“Anda memanggilku tuan?”, ucap mahkluk kecil yang terlihat seperti hantu mungil.
“Tolong rekam kegiatan katsu”, ucap miss.
“Baik!”, hantu mungil itu langsung lenyap tidak berbekas. Miss tersenyum ke arah mei dan leme yang masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya.
- ruang kerja arsellec -
“Akh... kenapa aku tidak bisa terus terang...”, ucap arsellec menggaruk kepalanya hingga rambutnya berantakan tidak teratur. “Aku ini memang...”
“Bebal! Dungu! Tidak jujur!”, potong katsu yang berdiri di beranda dengan pandangan menusuk ke arah arsellec.
“Ka--- katsu?”
“Kamu itu memang bodoh... bisa-bisanya jadi bulan-bulanan margareth”, ucap katsu yang belum beranjak dari tempatnya.
“Iya... benar...”
“...”, katsu terdiam beberapa saat melihat ke arah arsellec yang tersenyum dengan wajah yang terlihat seperti ingin menangis.
“Ka... kalau begitu aku mau mengerja---“, arsellec berhenti sebelum menyelesaikan ucapannya. Iblis kecil milik katsu mencium mulut arsellec tanpa pemberitahuan sedikitpun.
“Untuk saat ini aku diwakilkan saja...”, uacap katsu memalingkan wajahnya menghindari kontak mata dengan arsellec.
“Ma... maksudnya?”, arsellec tidak terlalu mengerti.
“Maksudnya tuan menyukai mu... tapi baru sedikit”, jelas iblis kecil itu yang merupakan jelmaan diri katsu sebagai iblis.
Tanpa mengucapkan apapun katsu langsung mencengkeram iblis kecil itu den menarik tubuhnya hingga melar.
“Ka--- katsu!?”, arsellec salah tingkah melihat ulah katsu pada iblis mungil itu.
“Seperti katanya... tapi baru sedikit ya...”, ucap katsu dengan wajah merah merona. Arsellec terdiam beberapa saat, wajahnya berangsur-angsur menjadi merah padam.
“Senangnya!”, arsellec memeluk tubuh katsu dari belakang, tersenyum bagaikan seorng anak kecil. Katsu tersenyum lembut tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Tidak akan ku lepaskan lagi...”, bisik arsellec dengan lembut di telinga katsu.
“I---“
“Akan kau lepaskan...”, margareth mendobrak pintu dan langsung memukul wajah arsellec hingga terpental jauh.
“Margareth!?, katsu agak berteriak.
“Katsu milikku! Tidak akan kuserahkan pada siapapun!”, ucap margareth yang langsung menarik tangan katsu keluar dari ruangan meninggalkan arsellec yang pingsan.
- keesokan harinya -
“Karena satu dan lain hal, mulai hari ini aku memutuskan untuk berada di kelompok dome cafe”, ucap katsu yang duduk di atas meja dengan santainya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Eh!? Serius!?, ucap miss dengan pandangan berbinar. Katsu menggangguk pelan dengan seulas senyum lembut terlukis di wajahnya.
“Karena kau akan ada disini... aku akan sering kemari...”, ucap arsellec sambil berusaha mencium pipi kanan katsu yang berhasil di halangi oleh margareth.
Kelihatannya dome cafe yang ditinggalkan oleh sebagian besar penghuninya yang bermasalah akan menjadi ramai kembali dengan ulah cinta segitiga yang baru saja mulai bersemi.
Malamnya secara diam-diam leme, miss, ai dan mei melihat hasil rekaman hantu milik miss yang tadi merekam.
“Uwawah... miss... rekam yang lain... yang 2 pasang ntu!”, ucap leme.
“G bisa...”, ucap miss sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Kenapa?”
“Aku cuma bisa sejauh 1 kilometer. G lebih...”
“Capek...”, keluh misa yang berajalan tertatih-tatih disangga oleh subuah tongkat kayu.
“Gimana kalau istirahat dulu mis?” tanya kise agak khawatir.
“Bentar lagi kita sampai desa... harusnya sih...”, ucap reita.
“Harusnya?”, misa kurang mengerti dengan kata terakhir yang diucapkan oleh reika.
“Em... kalau ingatnku tidak salah di dekat sini ada kota besar yang hampir menyamai revive town”
“Hum... ya udah kita kesana...”, ucap kise memutuskan sepihak.
“Boleh aja sih”
“Misa masih bisa jalan kan?”, tanya kise agak khawatir dengan wajah misa yang sudah pucat. Misa hanya mengangguk pelan dengan seulas senyum yang agak ragu. Kise terdiam sesaat...
“Ayo... ja.. hya...”, belum sempat misa menyelesaikan ucapannya kise mengangkat tubuh misa dan berjalan dengan tenangnya. Misa memandang kise dengan pandangan bingung dan tidak mengerti.
“Mending jangan maksain diri deh...”, bisik kise pelan di telinga misa yang membuat wajah gadis itu menjadi merah merona.
“Curang! Rei juga mau!”, ucap reika yang langsung meloncat ke punggung kise.
“Re... rei... berat!”
-3 jam berikutnya –
“Selamat datang di desa breist... desa para hunter”, ucap reika dengan wajah girang.
“Kenapa kayaknya kamu seneng banget?”, tanya misa dan kise bersamaan dengan pandangan bingung.
“Ehehe... soalnya setelah ini aku dapat bayaran”, ucap reika penuh semangat yang berjalan ke arah sebuah bangunan yang terlihat paling mencolok karena bentuknya yang tidak simetris sama sekali.
“Ini... monumen ya?”, tanya misa.
“Bukan... ini tempat tinggalku ma ega dulu...”, reika mengedipkan matnya dan membuka kenop pintu berwarna merah darah dengan bentuk seperti pedang tajam yang ternyata tidak tajam.
Begitu pintu terbuka sebuah ruangan yang terlihat seperti sebuah penginapan normal terlihat. Berbeda dengan tampat luarnya yang kelihtan kecil dan tidak simetris, ruangan di dalamnya terlihat begitu luas.
“Wew... beda banget ma diluar”, ucap kise.
“Um... kis... tolong turunin aku...”, ucap misa sementara reika menuju counter untuk memesan kamar.
“Sudah bisa jalan?”
“Em... udak g kenapa-napa”, misa kembali tersenyum lembut. Dengan agak ragu kise menurunkan misa dari gendongannya.
“Makasih ya kis...”
“Bukan apa-apa kok...”, kedua orang itu terdiam dan tersenyum tanpa arti sambil pandangan mereka tidak lepas dari satu sama lainnya.
“Layanan bellgirl... pasangan suami istri harap ikut...”, ucap reita memecah keheningan sambil bicara ngelentur.
“Hwaa...”, kise dan misa langsung saja saling berjauhan dan salah tingkah.
“Ini kamar untuk kalian... kalian sekamar...”, ucap reika dengan senyum licik dan menyerajkan sebuah kunci warna merah darah.
“Hah? Gw? Sama misa? Sekamar? Ga salah?”, ucap kise agak bingung.
“Enggak... soalnya kamarnya tinggal satu... dan Cuma kalian yang hari ini ga ada tempat menginap”, ucap reita.
“Trus kamu rei?”, misa bingung dengan ucapan reika.
“Aku sih... sudah ada kamar yang dulu”, ucap reika.
“Kyaaa”, terdengar teriakkan dari arah luar. Reika, misa dan kise barlari menuju arah suara itu dengan pandangan penasaran bercampur cemas.
“I... ini...”, kise terkejut melihat apa yang ada di hadapanya. Tumpukan mayat ada dimana-mana, darah segar melumuri tanah. Namun bukan itu yang membuat mereeka terkejut... melainkan orang yang berdiri di tengah bersimbah darah dengan sebuah tombak yang sudah berwarna merah.
“Ku... ra... in... za...?”, misa terbata-bata mengucapkan nama yang terbesit di kepalanya begitu melihat laki-laki yang tidak asing itu.
Laki-laki itu melihat ke arah misa yang mulai pucat. Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum.
“Reika...”, laki-laki itu berlari ke arah reika. Kontan reika memukul kepala laki-laki itu dengan gagang pedangnya dengan keras dan membuatnya pingsan.
“Rei... kamu kenal pembunuh ini?”, tanya kise dengan pandangan tajam ke arah laki-laki yang pingsan itu.
“Dia si kura... lupa ya?”, ucap reika sambil menarik kerah baju laki-laki itu yang bersimbah darah. Membuat tangannya kanannya menjadi merah darah.
“Eh!? Apa!?”, kise hampir menjerit mendengar kalau laki-laki itu adalah kurainza.
“Kura emang suka nyebut dirinya sebagai kurainza sang pembunuh sih... tapi...”, misa agak ragu melanjutkan ucapannya.
“Huweeh... sayang banget! Padahal kan gw pengen ngebunuh!”, rengek reika yang langsung membuat kise dan misa memandangnya dengan pandangan bingung dan tidak mengerti sama sekali.
“Rei... Kamu kelainan juga ya?”, gumam misa dan kise secara bersamaan.
Reika balik memandang ke arah misa dan kise dengan pandangan tidak mengerti.
Tanpa ada siapapun yang bicara reika menarik kurainza yang tengah pingsan menuju penginapan dan membaringkannya di atas tempat tidur di kamar kise dan misa.
“Reita... kamu pengen ngebunuh juga?”, kise memulai pembicaraan sambil memandang tajam ke arah reika. Sementara misa berada di antara keduanya dengan pandangan khawatir.
“Huh? Kalau disini kan itu bukan hal yang aneh”, ucap reika agak cuek.
“Jangan ngawur! Ngebunuh manusia itu hal yang g bisa di toleransi!”, kise mengebrak meja dengan kesal. Reika melihat ke arah kise dengan pandangan bingung.
“Manusia?”, ucap reika yang jadi bingung sendiri.
“Yang tadi itu... bukan manusia...”, ucap misa yang membuat kise memandangnya dengan pandangan bingung dan tidak mengerti sama sekali.
“Memang bukan manusia... di desa breist monster sama dengan manusis... hanya wujudnya saja sih...”, ucap reika sambil menuangkan arak ke cangkirnya yang sudah kosong.
“Kalau begitu kenapa penduduk disini bisa santai!?”, tanya kise agak geram.
“Um... soalnya di sini kan sebagian besar hunter. Dan dengan begitu mereka tahu mana yang monster mana yang bukan... jadi tidak ada masalah”, ucap reita dengan senyum lebar.
“Heh? Lalu kenapa misa tahu itu bukan monster?”, kise mangalihkan pandangannya pada misa yang tengah menuangkan arak ke cangkir miliknya.
“Um... habisnya aneh... kalau bener manusia harusnya orang-orang kabur... tapi kenapa mereka Cuma berteriak dan melihat tanpa kabur”, ucap misa.
“Artinya... Cuma aku yang g tahu?”, ucap kise suram. Misa mengelus pelan kepala kise sambil tersenyum lembut.
- malam harinya -
Reika sudah terlelap menuju dunia mimpi. Sedangkan kurainza masih belum sadar dari pingsannya. Kise dan misa yang belum bisa tidur memutuskan untuk berjalan-jalan kesekitar situ. Pemandangan malam di desa breist saat malam terlihat indah pada malam hari dihiasi kunang-kunang yang bertebangan menerangi jalan yang memang sengaja tidak dipasang lampu jalan.
“Indahnya...”, ucap misa yang berjalan di belakang kise.
“Maaf ya mngajakmu malam-malam begini...”, ucap kise serba salah.
“Em? Memangnya kenapa? Aku senag kok”, ucap misa yang tersenyum dengan lembut.
“Ah... makasih ya”, ucap kise membalas senyuman misa.
Mereka berdua malanjutkan berjalan di kerumunan kunang-kunang yang menerangi jalan mereka. Tidak ada seornagpun yang berbicara selama di jalan.
“Em... kise?”
“Ya?”
“Bagaimana rasanya menjadi time hunter?”
“Bagaimana apanya?”
“Menyenangkan atau apa? Pasti menyenangkan karena bisa mengetur waktu dan kembali ke masa lalu”, ucap misa yang membuat langkah kise terhenti dan berbalik.
“Maksudmu apa? Mana mungkin aku bisa pindah waktu? Kalau bisa kan aku bisa saja kembali ke dimensi kita yang sebenarnya”
“Benar juga ya...”, misa menunduk sambil tersenyum yang terlihat seperti senyuman yang sedih.
“Misa? Kamu kenapa?”
“Aku... nggak kenapa-napa”, ucap misa. Setetes air mata turun mambasahi pipinya.
“Misa...”, kise tidak mengucapkan apapun dan hanya memeluk tubuh misa dengan lembut. Misa agak kaget dengan perlakuan kise itu
Selama bebrapa lama mereka berdua saling berepelukan di tengah lautan kunang-kunang. Misa menangis pelan dan saat air matanya jatuh ke tanah...
“Gempa bumi!?”, ucap kise.
Sebuah gempa bumi yang cukup besar terjadi di tempat mereka bedua yang tadi siang merupakan tempat kura membunuh banyak monster. Kise tetap memeluk misa berusaha mlindungi gadis itu.
Sekumpulan kunang-kunang yng tadinya bersama mereka pergi manjauh dari tempat itu dan membuat cahaya bulan sebagai satu-satunya cahaya yang menerangi mereka.
“Apa yang sebernya terjadi!?”, ucap kise.
“Para arwah... akan bangkit... kegelapan... datang...” ucap misa. Kise melihat wajah misa yang berada dalam pelukannya. Gadis yang ada dalam dekapannya terasa seperti bukan misa yang sebelumnya, pandangan mata kosong dan menerawang.
“Mi... misa!?”, gempa bumi yang terjadi berhenti. Kise mengguncang-guncang tubuh misa yang seperti tidak bertenaga sama sekali.
“Kise!”, reika dan kurainza berlari ke arah kise dan misa.
“Ah... kura... reika...”, kise melambaikan tangnnya tanpa bergerk satu langkah pun dari tepatnya berada.
“Tadi gempanya hebat juga... sampai bikin bangung...”, ucap kura.
“Ah... iya... tiba-tiba aja gempa”, kise masih bingun dengan apa yang terjadi. Beberapa saat mereka terus melakukan tanya jawab dengan apa yang terjadi, namun misa masih terus terdiam dengan pandangan kosong yang tidak menatap apapun.
“Ngomong-ngomong... kamu kenapa diam saja misa?”, tanya kurainza yang menyadari ke anehan pada misa. Sesaat setelah itu, pandangan misa yang tadinya tidak menatap apapun menatap ke arah kura dengan pandangan tajam.
Kise yang sembari tadi memeluknya merasa kalau tubhunya serasa tertekan dan tidak bisa bergerak satu langkahpun. Begitu juga dengan yang lainnya.
“Kok... mendadak... be... rat...”, kuara dan reika terduduk di tanah dan tak mampu untuk berdiri kembali.
“Darah yang menutup permukaan tanah... kesedihan mereka yang terbunuh...”, gumam misa yang melepaskan pelukan kise dari dirinya. Misa mulai berjalan dan berhenti tepat di sepan sebuah didnding kayu yang masih terlihat bercak darah yang di buat oleh kura tadi.
“Mi... misa?”
Misa berbalik ke arah kise dan menatapnya sesaat sambil tersenyum. Bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara.
“Dewa kematian... jiwa yang tertidur... no fantasy!”, ucap misa yang kontan langsung berubah.
Pakaian gelap dengan jubah yang menutupi kepalanya, sebuah sambil yang hampir sama dengan sabit dewa kematian yang sebelumnya dimiliki oleh tengkorak yang di kendalikan oleh vera.
“Berubah... misa... bisa berubah?”, ucap reika tersenyum. Namun senyuman itu hilang begitu melihat pandangan mata kura ke arah misa.
“Itu... wujud dari...”
“Queen of death...”, potong misa sebelum kura mengucapkan nama perubahnnya. Wajah kise dan reika sesaat menjadi pucat mendengar nama itu.
“Qu... queen of... death?”, ulang reika terbata-bata.
“Misa... kalau kau mau bercanda ini g lucu...”, ucap kise dengan senyum yang di paksakan.
“Untuk apa bercanda? Sama sekali tidak ada keuntungannya...”, ucap misa sambil mengibaskan sabitnya pada tanah. Dari tanah itu keluar monster-monster yang sebelumnya di bunuh oleh kura.
“Tch! Itu... jiwa monster yang tersisa”, ucap kura.
“Kise... kura...”, reika melirik ke arah kedua pemuda itu dan tanpa ada balasan mereka lansgung mengerti.
“Transform!”, teriak ketiganya secara bersamaan.
“Hum... berubah ya... yah... jalan termudah untuk menghindari gaya gravitsi yang besar”, ucap misa dengan nada datar. Pandangannya tetap kosong.
“Misa... hentikan semua ini! Ini tidak lucu sama sekali!”, ucap kise berusaha menyedarkan misa dan menyerahkan urusan monster-monster itu pada reika dan kura.
“Huh? Tidk lucu? Bagaimana kalau... ini”, ucap misa setengah berteriak sambil mengibaskan sabitnya ke arah kise
Dengan sigap kise menghentikannya dengan kekuatan pengendalian waktunya yang membuat misa tidak bisa bergerak dan masih dalam posisi melompat di udara.
“Huhu... kekuatanmu berkembang ya”, ucap misa yang masih bisa menggerakan kepalanya.
“Misa... kamu kenapa? Ini kayak bukan kamu...”, ucap kise dengan pandangan sayu ke arah kise (Lama-lama kayaknya ngerasa sama sama adegan apa gitu...)
“Kalau begitu aku seperti apa?”
“Eh?”
“Tidak ada yang tahu aku yang sebenarnya... kita hanya kenal di dunia maya... dan baru bertemu...”, ucap misa sambil tersenyum licik.
“Misa... aku sampai di dimensi ini lebih dulu... dan walau be...”
“Selama 500 tahun aku menunggu... dan kalian baru muncul sekarang...”, ucap misa dengan nada bergetar.
“Eh? Bukankah kamu baru sampai beberapa minggu yang lalu?”
“Minggu! Itu Cuma rekayasa...”, jawab misa singkat.
“Rekayasa?”
“Ya... semua Cuma rekayasa... tidak ada kebenaran satu pun”, teriak misa. Kise terdiam mendengar hal itu dan melepaskan misa hingga gadis itu dapat bergerak kembali.
“Kalau begitu selama ini senyuman itu Cuma rekayasa?”
“!?”
“Aku tanya!? Apa sikap dan senyumanmu selama ini Cuma rekayasa!?”, bentak kise yang membuat misa memejamkan matanya rapat-rapat. Kura dan reika menolak untuk berbalik dan meneruskan bertarung dengan pandangan sedih.
“Misa! Jawab aku!”, sekali lagi kise berteriak sambil mencengkram misa pundak misa dengan kuat.
“Iya... itu semua rekayasa... haha... rekayasa...”, ucap misa mengangkat wajahnya, seulas senyum terlihat di wajahnya namun air mata membasahi pipinya.
“Mi... sa...”, kise melepas cengkramannya dan berjalan mundur beberapa langkah dengan wajah pucat pasi.
“Di dunia ini semua Cuma rekayasa... tidak ada sedikitpun yang nyata... hanya rekayasa!”, ucap misa setengah berteriak.
Serangan monster-monster pada kura dan reika berhenti. Perlahan mereka kembali menjadi darah yang menggenangi tanah untuk kedua kalinya.
“Ah... mereka kembali...”, reika dan kura berbalik ke arah kise dan misa yang saling berpandangan.
“Sudahlah... toh aku sudah gagal... sampai jumpa... di medan perang berikutnya”, ucap misa yang langsung melompat dan terbang meninggalkan ketiganya.
“MISAAAAA”, terdengar suara teriakan kise memecah keheningan malam itu.
Kunang-kunang yang sebelumnya pergi meninggalkan tempat itu kembali ke tempat itu dan menerangi sekeliling. Beterbangan di sekitar kise seolah ingin menghibur kise yang masih terpukul.
Semuanya terdiam tanpa ada yang mau bicara sedikitpun, hanya kunang-kunang yang menghiasi malam dengan indahnya di tengah kesedihan yang melanda.
- semewhere -
“Welcome...Queen of death...”, sambut selain dan vera yang berdiri di pintu masuk sebuah kastil.
“Aku tidak sangka akan secepat ini kau kembali”, ucap vera sambil tersenyum.
“Hehe... aku tidak mungkin terlalu lama ada di sana”, misa membalas senyuman vera dengan lembut dan penuh arti.
“Tapi bisa-bisanya kau membocorkan rahasiamu”, ledek selain.
“Hehe... biarlah... toh cepat atau lambat harus ku beberkan juga”, jawab misa tersenyum.
“Yup... cepat atau lambat kita harus muncul di hadapan mereka semua... sebagai musuh...”, ucap vera yang langsung memeluk misa sambil menutup matanya.
“Hehe... vera mulai lagi”
“Aku meluk juga g ya?”, tanya selain agak usil.
“Mati aja sana!”, kedua gadis itu kontan memanggil para anak buahnya yang siap untuk bertarung menghadapi selain.
“Gw ogah! Terakhir ama vera semingguan lebih!”, teriak selain agak kesal.
“Hum... vera hebat”
“Sudah deh... ayo masuk!”, ucap selain sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Aku kembali... princess...”, gumam misa sambil melangkah memasuki kastil itu tanpa keraguan sedikitpun.
Di ruangan terdlam dari kastil itu tabung yang sejak lama di awasi oleh malaikat suruhan katsu mulai mengalami perubahan. Cairan yang tadinya hitam berangsur-angsur mulai berubah menjadi abu-abu dan terlihat sesosok tubuh yang tertidur di dalamnya bersama dengan seekor mahkluk bersayap.
“Tuan... sepertinya apa yang anda takutkan akan terjadi...”, gumam malaikat itu.
Sementar itu di desa breist, matahari mulai terbit dari ufuk tenggara dengan sinar ke merahan.
“Kise... sudah waktunya berangkat”, ucap kura sambil memasukkan kepalanya saja ke dalam kamar kise.
Di dalam kise tampak sedang memandang ke luar dari jendela. Ke arah tempat di mana misa menghilang dari pandangannya tadi malam.
“Kise?”, panggil reika menarik lengan baju kise.
“Hari ini... kita menginap saja disini lagi... biarkan aku menenangkan diri”, ucap kise tanpa bergerak dari tempatnya.
Kalimat yang di ucapkan oleh misa sesaat sebelum ia berubah menjadi Queen of death terus membayangi kepalanya dan tidak mau pergi. Sekeras apapun kise mencoba ia tetap tak bisa melupakannya...
“Hei... queen of death... ternyata bukan isapan jempol”, ucap reika sambil menutup pintu kamar kise secara perlahan.
“Hehe.. aku tidak percaya kalau queen of death dalah teman kita sendiri”, kurainza tertawa agak terpaksa.
“Legenda akan adanya queen of death... ratu penguasa dunia orang mati...”
“Di cerita yang ku dengar ada alasan dia menjadi queen of death... bagaimana kalau kita cari?”, ajak kura sambil tersenyum tipis. Reika melihat ke arah kura dengan pandangan tidak terlalu mengerti.
“Setelah kita temukan apa yang akan kita lakukan?”
“Eh? Soal itu...”
“Kalau kita taupun itu semua percuma! Apa kamu pikir misa akan kembali kalau kita tau? Apa kamu pikir queen of death akan hilang!?”, ucap reika dengan pandangan kosong dan langsung terduduk di lantai tanpa ingin melanjutkan perdebatan.